VISI

VISI ; MEWUJUDKAN MASYARAKAT DAN KELUARGA YANG SAKINAH DAN SEJAHTERA DUNIA AKHIRAT

Kamis, 27 Januari 2011

MAKALAH PERWAKAFAN

WAKAF TANAH
Perwakafan Masyarakat Kabupaten Gresik
Dalam Perspektif Empat Madhhab dan
Hukum Positif
Oleh:
Abu Azam Al Hadi
FO.15.07.02
PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia lembaga perwakafan1 telah dikenal
oleh masyarakat yang beragama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari banyaknya
kerajaan Islam di Indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan Pasai dan sebagainya.2
Sekalipun pelaksanaan wakaf bersumber dari ajaran Islam, namun wakaf seolah-olah
merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah masalah dalam
hukum adat Indonesia. Sebab diterimanya lembaga wakaf ini berasal dari suatu kebiasaan
dalam pergaulan kehidupan masyarakat Indonesia.3
Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham madhhab al-
Sha>fi’i> dan adat kebiasaan setempat. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”4 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik”,5 masyarakat Islam Indonesia masih
menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti, kebiasaan melakukan perbuatan
hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau
lembaga tertentu , kebiasaan memandang wakaf sebagai amal salih yang mempunyai nilai
mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf
dianggap milik Alla>h semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa
seizin Alla>h.
Paham masyarakat Indonesia tersebut menurut Rachmat Djatnika yang dikutip oleh
Ahmad Djunaidi dalam bukunya “Menuju Era Wakaf Produktif”, terlihat sangat lugu karena
tingginya sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain di masa-masa awal.
Praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui
memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada
timbulnya persengketaan karena tiadanya bukti-bukti catatan di KUA (Kantor Urusan
Agama) di kabupaten dan kecamatan, bukti arkeologi, Candra Sengkala, piagam
perwakafan, dan cerita sejarah tertulis maupun lisan.6 Paham pelaksanaan wakaf tanah
semacam itu juga terjadi di Kabupaten Gresik pada tahun 1960-an sampai dengan tahun
1980-an
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
“Perwakafan Tanah Milik”, Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang “Wakaf”, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Syirkah (Bandung: al-Ma’arif, 1987), 23.
2 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006), 13-14.
3Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, 13.
4Jaminan tanah wakaf di Indonesia, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria (PDPA) pasal 49 ayat (3) yang menyebutkan “Bahwa perwakafan tanah milik dilindungi
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
5Peraturan Pemerintah dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut baru
dikeluarkan 17 tahun kemudian yaitu pada tanggal 17 Mei 1977 yang berwujud Peraturan Pemerintah Nomor
28 tahun 1977 tentang ”Perwakfan Tanah Milik”.
6 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006), 38. Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia
(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006), 43.
41 Tahun 2004 tentang wakaf”, maka telah terjadi suatu pembaharuan di bidang perwakafan
tanah milik. Dengan demikian persoalan tentang perwakafan tanah milik ini telah diatur,
ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi tujuan dalam
perwakafan sesuai dengan ajaran Islam.
Adanya peraturan tersebut maka lembaga ini tidak lagi hanya dipandang sebagai
suatu lembaga keagamaan yang bersandar pada hukum Islam semata, tetapi sudah
ditingkatkan kedudukannya sebagai lembaga formal dalam Hukum Agraria Nasional,
sehingga segala sesuatunya tidak hanya harus memenuhi persyaratan yang diatur dan
ditentukan oleh agama Islam semata, tetapi juga harus memenuhi persyaratan formal yang
ditentukan dalam berbagai peraturan tentang perwakafan.7
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik”
tersebut merupakan salah satu bagian dari pembaharuan hukum nasional. Timbul
permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang “Peraturan Dasar Pokok Agraria”. Di antaranya adalah masih berlangsungnya
kebiasaan di masyarakat yang bersifat lokal tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 1977 yang bersifat Nasional. Di samping itu juga masih adanya kebiasaan
keagamaan dalam masyarakat yang masih sulit melaksanakan Peraturan Pemerintah dan
Undang-Undang tersebut.8
Di samping itu perlu diingat pula kenyataan yang hidup di alam pikiran masyarakat
dalam adat Indonesia.9 Tanah wakaf dalam pengertian masyarakat Indonesia telah
mempunyai pengertian tanah suci, baik tanah itu digunakan untuk ibadah, tanah pekuburan
umum, sarana lainnya seperti tanah sawah, tanah tegalan atau kebun dan lain-lain. Apabila
disebut wakaf, akan tersimpul pengertian suci dalam keagamaan. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang “Wakaf” dan Peraturan Pemerintah Nomor
42 tahun 2006 tentang ”Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf”,
berarti melengkapi perturan perundang-undangan yang sudah ada sebagai bukti kesadaran
umat Islam Indonesia terhadap perkembangan dan manfaat perwakafan.
Akan tetapi setelah penulis perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
berkembangnya pengetahuan masyarakat kabupaten Gresik sebagian mereka beranggapan
bahwa perwakafan yang dilakukan oleh orang tua dan nenekmoyang tidak memenuhi unsur
perwakafan menurut peraturan yang berlaku di Indoensia. Sehingga mereka beranggapan
bahwa penyerahan tanah wakaf yang dilakukan oleh leluhur dianggap tidak memenuhi
unsur-unsur perwakafan menurut hukum positif.
Berpijak dari uraian di atas, maka perlu penulis mengkaji secara mendalam dan
mengkritisi tentang pelaksanaan perwakafan tanah masyarakat kabupaten Gresik menurut
empat madhhab dan hukum positif.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini ialah wakaf tanah masyarakat kabupaten
Gresik dalam perspektif hukum Islam, utamanya dalam perspektif empat madhhab yang
akan membahas:
1. Pemikiran empat madhhab terhadap pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten
Gresik
2. Pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik menurut peraturan perundangundangan
di Indonesia
3. Deskripsi masyarakat kabupaten Gresik tentang wakaf tanah hak milik
7Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), 67.
8 Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Surabaya: Al-Ikhlas 1995), 67.
9Suyuti Thalib, Lima Serangkai Hukum dalam Wakaf sebagai Sarana Pengembangan Amalan Umat Islam dan
Hubungan dengan Hukum Agraria (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 48.
4. Fenomena wakaf tanah hak milik menurut masyarakat kabupaten Gresik
Masalah penelitian seperti yang tampak pada identifikasi di atas sangat luas. Untuk
itu perlu adanya pembatasan masalah. Pertama, pembatasan dari segi pelaksanaan wakaf
dalam perspektif empat madhhab. Kedua, pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten
Gresik dalam perspektif hukum positif.
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari problem yang menjadi latar pentingnya dilakukan penelitian
terhadap wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik, maka penelitian difokuskan pada wakaf
tanah masyarakat kabupaten Gresik dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan wakaf tanah di kabupaten Gresik dalam perspektif empat
madhhab?
2. Bagaimana pelaksanaan wakaf tanah di kabupaten Gresik dalam perspektif hukum
positif?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menjawab masalah wakaf tanah
di masyarakat kabupaten Gresik yang berkaitan dengan:
1. Memperoleh gambaran dan memahami secara mendalam tentang pelaksanaan wakaf
tanah yang dilakukan oleh masyarakat kabupaten Gresik dalam perspektif empat madhhab
2. Memahami secara mendalam tentang pelaksanaan wakaf tanah masyarakat di kabupaten
Gresik dalam perspektif hukum positif
E. Kegunaan Penelitian
1. Kajian penelitian wakaf tanah secara teoritis akan menguji atau menilai ulang terhadap
konsep pemikiran perwakafan empat madhhab, dan diharapkan menjadi kontribusi di
bidang pemikiran hukum wakaf, yang sementara ini hukum wakaf relevan dengan
perkembangan zaman dan tempat.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap praktik
pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik dalam perspektif empat madhhab
dan hukum positif.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni memahami fenomena
pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik. Menurut Patton10 metode kualitatif
adalah untuk memahami fenomena yang terjadi secara natural (alamiah) dalam keadaankeadaan
yang sedang terjadi secara alamiah. Konsep ini lebih menekankan pentingnya sifat
data yang diperoleh oleh peneliti kualitatif, yakni data alamiah. Data alamiah ini utamanya
diperoleh dari hasil ungkapan langsung subjek peneliti.
Sebagaimana dikatan oleh Patton bahwa data kualitatif adalah apa yang dikatakan
oleh orang-orang yang diajukan seperangkat pertanyaan peneliti. Apa yang oarang-orang
katakan diperoleh secara verbal melalui sutu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui
analisis dokumen.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang
tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa
pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang bernuansa
kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantitatifikasi apapun tidak perlu
digunakan pada penelitian kualitatif.11
2. Setting Penelitian
10Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation Methods (Baverly Hills-London: Sage Publications, t.tp), 41.
11Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remja Rosdakarya, 2005), 6.
Setting dalam penelitian ini adalah masyarakat kabupaten Gresik. Luasnya subjek
tidak mungkin akan dilakukan penelitian secara menyeluruh. Subjek yang penulis tentukan
adalah 7 (tujuh) kecamatan dari 18 (delapan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten
Gresik, tujuh kecamatan penulis pilih karena kecamatan yang dapat mewakili dan terdapat
fenomena wakaf tanah yang terkait dengan penelitian.1). kecamatan Duduksampeyan, 2).
kecamatan Manyar, 3). kecamatan Benjeng, 4). kecamatan Bungah, 5) kecamatan Sidayu,
6), kecamatan Gresik, 7), kecamatan Dukun. Setiap kecamatan akan diambil beberapa desa
yang dapat mewakili dan terdapat fenomena pelaksanaan wakaf tanah.
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian kualitatif, data yang diperlukan dan diperoleh dalam
penelitian lapangan ada dua sumber. Pertama primer, yaitu Penyelenggara Zakat dan Wakaf
Departemen Agama Kabupaten Gresik, Kepala Kantor Urusan Agama, tokoh masyarakat,
tokoh agama, para na>z}ir. Kedua sekunder, dokumen yang terkait dengan wakaf tanah
wasyarakat kabupaten Gresik, utamanya dokumen di Kantor Departemen Agama Gresik dan
KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan.
Untuk teknik pengumpulan data penulis menggunakan teknik:
a. Pengamatan, seperti dikemukakan Guba dan Lincoln bahwa manfaat teknik pengamatan
juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat prilaku dan
kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya,12 untuk melakukan
pengamatan terhadap fenomena pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik.
b. Wawancara, melakukan wawancara dengan Penyelenggara Zakat dan Wakaf
Depaertemen Agama Kabupaten Gresik, Kepala Urusan Agama, tokoh masyarakat, tokoh
agama, para na>z}ir, dan ahli waris wa>qif., dengan cara antara lain: mengkonstruksi
mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lainlain
kebulatan; mengkonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa
lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada
masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang
diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun konstruksi yang dikembangkan oleh
peneliti sebagai pengecekan anggota.13
c. Dokumentasi, dalam arti melacak sumber data yang terkait dengan Penyelenggara Zakat
dan Wakaf Departemen Agama Kabupaten Gresik, Kepala Kantor Urusan Agama, tokoh
masyarakat, tokoh agama, para na>z}ir, dan ahli waris wa>qif.
4. Analisis Data
Dalam membahas wakaf tanah masyarakat kabupaten Gresik penulis
menggunakan: Pertama: analisis induktif. Selama pengumpulan data dapat dimulai setelah
peneliti memahami fenomena sosial tentang pelaksanaan wakaf tanah masyarakat kabupaten
Gresik yang sedang diteliti. Dalam tahap ini hasil penelitian yang diperoleh disajikan sesuai
dengan pemaparan keaslian masyarakat tentang wakaf tanpa memilah-milah, dan setelah
mengumpulkan data dapat dianalsis. Kedua, menarik kesimpulan/verifikasi. Dalam kajian ini
dilakukan pengujian tentang kebenaran data tentang perwakafan tanah. Terkait dengan
makna-makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohannya,
kecocokannya dan validitasnya.14
12Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), 174.
13 Ibid. , 186.
14Imam Suprayogo dan Tobroni, Penelitian Sosial-Agama, 196.
II. HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Wakaf Tanah menurut Empat Madhhab
1. Pengertian wakaf menurut empat madhhab
Di tengah problem sosial masyarakat kabupaten Gresik dan tuntutan akan
kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis.
Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga
merupakan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi. Karena itu
pendefinisian terhadap wakaf agar memiliki makna yang yang lebih relevan dengan kondisi
riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.
Pengertian wakaf bagi masyarakat kabupaten Gresik pada umumnya memasukkan
syarat-syarat wakaf sesuai dengan madhhab yang dianutnya.
a. Madhhab al-H}anafi>
Pengertian wakaf menurut madhhab al-H}anafi> belum banyak dipahami masyarakat
kabupaten Gresik. Sebab menurut madhhab al-H}anafi> mewakafkan harta bukan berarti
meninggalkan hak miliknya secara mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh menarik
wakafnya kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjualbelikan oleh pemilik wakaf
semula. Bahkan menurut Abu> H}ani>fah, jika orang yang mewakafkan tersebut meninggal
dunia, maka pemilikan harta yang diwakafkannya berpindah menjadi hak ahli warisnya.
Bagi Abu> H}ani>fah sebuah wakaf akan berakhir dengan meninggalnya orang yang
mewakafkan, dan harta tersebut kembali kepada ahli waris yang berhak.
Sementara menurut anggapan mayoritas masyarakat kabupaten Gresik bahwa benda
yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik orang yang mewakafkan, akan tetapi
menjadi hak milik Alla>h, sedang yang mengelola adalah na>z}ir. Bahkan benda yang sudah
diwakafkan tidak boleh ditarik kembali, diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan.
Hal ini terjadi disebabkan belum adanya pemahaman mayoritas masyarakat Gresik
yang tidak mau menerima pendapat madhhab al-H}anafi>, di samping pemikiran madhhab al-
H}anafi> dianggap oleh sebagian masyarakat kurang relevan dengan keyakinan dan kehidupan
beragama di kalangan masyarakat. Menurut anggapan sebagian besar masyarakat Gresik,
bahwa mencampuraduk dan berpindah dari satu madhhab ke madhhab lain (talfi>q) tidak
dibolehkan.
Tindakan sebagian besar masyarakat dibalik itu disebabkan mereka fanatik terhadap
pendapat madhhab al-Sha>fi’i>, sedikit sekali sebagian masyarakat mau menerima pendapat
madhhab lain kecuali madhhab al-Sha>fi’i>.
Penulis setuju dengan pendapat madhhab al-H}anafi:> ”Mewakafkan harta bukan
berarti meninggalkan hak miliknya secara mutlak, orang yang mewakafkan boleh menarik
kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjualbelikan oleh pemilik wakaf semula”.
Tetapi dengan syarat ketika orang yang akan mewakafkan tanahnya menyebutkan syaratsyarat
sesuai dengan keinginan orang yang mewakafkan, sedang sebagian syarat dimaksud
adalah bagi orang yang akan mewakafkan bendanya ia bisa menarik kembali sesuai dengan
yang diinginkan.
b. Madhhab al-Ma>liki>
Sama halnya dengan madhhab al-H}anafi>, pengertian wakaf menurut madhhab al-
Ma>liki> belum banyak diketahui dan dipahami masyarakat kabupaten Gresik. Pengertian
yang disampaikan madhhab al-Ma>liki> ini memberi pehaman bahwa seseorang yang
mewakafkan hartanya dapat menahan penggunaan harta benda tersebut secara penuh dan
membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan, dengan tetap kepemilikan
harta yang pada diri orang yang mewakafkan. Adapun masa berlakunya harta yang
diwakafkan tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk jangka waktu tertentu sesuai
kehendak orang yang mewakafkan pada saat mengucapkann si>ghat (akad) wakaf. Oleh
karenanya bagi mdhhab al-Ma>liki>, tidak disyaratkan wakaf selama-lamanya. Yang menjadi
dasar pendapat madhhab al-Ma>liki> bahwa pemilikan harta wakaf itu tetap berada di tangan
orang yang mewakafkan dan manfaat bagi yang menerima hasil atau manfaat wakaf ialah
h}adi>th Nabi SAW. habbis al-as}la wa-sabbil al-thamrah.
Hal ini terjadi disebabkan mayoritas masyarakat kabupaten Gresik belum memahami
pengertian wakaf yang dikemukakan madhhab al-Ma>liki>, dan belum banyak dikenal juga dan
tidak diketahui bahwa mewakafkan harta benda itu boleh dengan jangka waktu tertentu,
termasuk di dalamnya benda sewa boleh diwakafkan. Benda yang diwakafkan terbatas pada
manfaatnya saja, dan benda yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan.
Pengertian yang dikemukakan madhhab al-Ma>liki> ini, jika dipahami masyarakat kabupaten
Gresik sejak awal Islam masuk di kabupaten Gresik, tentunya banyak masyarakat yang
melaksanakan model wakaf yang ditawarkan madhhab al-Ma>liki>. Sebab dengan pengertian
wakaf menurut madhhab al-Ma>liki> akan banyak dijumpai masyarakat Gresik yang
berkehidupan menengah ke bawah akan melaksanakan wakaf. Sementara pelaksanaan wakaf
tanah masyarakat Gresik hanya dilaksanakan orang-orang yang berkehidupan menengah ke
atas.
Makna dibalik gejala atau tindakan masyarakat semacam ini disebabkan adanya
fanatik sebagian besar masyarakat yang tidak mau menerima madhhab lain, kecuali
madhhab al-Sha>fi’i>. Mempengaruhi paham masyarakat semacam ini agak sulit karena paham
mereka sudah membudaya dan turun menurun, cara tepat merubah pemikiran kolot seperti
ini adalah mempengaruhi generasi muda dengan memberi pemahaman baru tentang hukum
wakaf menurut empat madhhab.
Prinsipnya penulis mendukung pendapat madhhab al-Ma>liki>, bahwa wakaf
memberikan manfaat harta, baik berupa sewa atau hasil kepada orang yang berhak, dengan
jangka waktu sesuai dengan orang yang mewakafkan. Sebab dengan pemikiran wakaf
menurut madhhab al-Ma>liki>, masyarakat tidak akan terbelenggu dengan pemahaman wakaf
menurut madhhab al-Sha>fi’i>, dan akan mewakafkan tanahnya sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
c. Madhhab al-Sha>fi‘i>
Menurut madhhab al-Sha>fi‘i>, bahwa status kepemilikan harta wakaf tidak lagi
menjadi milik orang yang mewakafkan, dan bukan hak milik na>z}ir, akan tetapi kepemilikan
harta wakaf menjadi hak Alla>h (untuk kepentingan umat Islam).
d. Madhhb al-H}anbali}>
“Menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam mebelanjakan hartanya yang
bermanfaat dengan tetap utuhnya harta, dan memutuskan semua hak penguasaan
terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukkan kebaikan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Alla>h”.
Pengertian wakaf yang dikemukakan madhhab al-H}anbali> memberikan pemahaman
bahwa, apabila harta sudah diwakafkan oleh orang yang mewakafkan, maka status
kepemilikan harta tersebut sudah tidak lagi menjadi pemiliknya, tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan diwariskan.
Kedua pengertian yang dikemukakan madhhab al-Sha>fi’i> dan madhhab al-H}anbali>
inilah yang banyak dipahami oleh masyarakat Gresik. Pelaksanaan wakaf di lingkungan
umat Islam Gresik lebih dapat dilihat dari adanya kekekalan fungsi atau manfaat untuk
kemaslahatan agama, utamanya terhadap lembaga yang telah ditunjuk oleh orang yang
mewakafkan. Karena tujuan dan kekekalan manfaaat dari wakaf tanah yang diwakafkan,
maka menurut madhhab al-Sha>fi’i> yang mayoritas dianut masyarakat Gresik bahwa wakaf
tanah berubah kepemilikannya menjadi hak Alla>h atau untuk kemaslahatan sesuai dengan
kehendak wa>qif (orang yang mewakafkan). Wa>qif (orang yang mewakafkan) sudah tidak
memiliki hak terhadap benda itu. Menurut mereka wakaf itu sesuatu yang mengikat, wa>qif
(orang yang mewakafkan) tidak dapat menarik kembali, membatalkan dan
membelanjakannya yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan juga tidak dapat
mengikrarkan bahwa benda wakaf itu menjadi hak milik orang lain. Tidak boleh
menjualbelikan, menggadaikan, mewariskan dan menghibahkan.
Penyebab sebagian besar masyarakat menerima pemikiran pendapat madhhab al-
Sha>fi’i> dan madhhab al-H}anbali> lebih ditekankan pada da>’i> yang menyebarkan Islam di
Gresik mereka ber-madhhab al-Sha>fi’i> dan pendapat madhhab al-H}anbali> tentang wakaf ada
kesamaan dengan madhhab al-Sha>fi’i>. Sehingga pemahaman yang diterima masyarakat yang
sudah membudaya dan menjadi keyakinan masyarakat seperti ini akan terjadi
berkesinambungan.
Prilaku dan tindakan dibalik individu masyarakat semacam ini sudah membudaya
dan sulit dipengaruhi oleh pemahaman baru, masyarakat beranggapan bahwa pindah dari
madhhab al-Sha>fi’i> kepada madhhab lain tidak bisa, dan fanatik madhhab menurut penulis
seharusnya tidak akan terjadi, karena akan menyulitkan dirinya sendiri.
Menurut penulis bahwa konsep pemikiran wakaf menurut empat madhhab bisa
diterima di kalangan masyarakat, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki setiap individu
tanpa terkecuali. Wakaf menurut empat madhhab ini memberi peluang masyarakat untuk
mewakafkan harta kekayaannya sesuai dengan keinginannya tanpa terbatas. Agar tidak
terbelenggu dengan salah satu madhhab, masyarakat Gresik diberi kesempatan dan bebas
memilih salah satu dari empat madhhab yang mereka inginkan ketika melaksanakan wakaf
tanah maupun bentuk wakaf lainnya.
2. Syarat dan rukun wakaf
Pelaksanaan wakaf masyarakat Gresik telah memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan Jumhu>r ‘Ulama>’ di kalangan madhhab al-Sha>fi‘i>, al-Ma>liki>, dan al-H}anbali>.
Bahwa orang yang akan mewakafkan hartanya harus memenuhi 4 (empat) rukun. Pertama,
al-wa>qif (orang yang mewakafkan), kedua, al-mawqu>f (barang/harta benda yang
diwakafkan), ketiga al-mawqu>f ‘alayh (peruntukan harta wakaf), keempat al-Si>ghat
(pernyataan atau ikrar wa>qif untuk mewakafkan hartanya).
Syarat-syarat pelaksanaan wakaf masyarakat Gresik sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan para fuqaha>’.
3. Macam-macam dan penggantian benda wakaf
Macam wakaf tanah masyarakat Gresik dikaitkan dengan pihak yang menerima dan
memanfaatkan wakaf, maka wakaf dalam pelaksanaannya ada dua macam: yakni wakaf aldhurri>
(wakaf keluarga), dan wakaf al- khayri> (wakaf umum).
Wakaf al-dhurri> (wakaf keluarga) sedikit sekali dijumpai di lingkungan masyarakat
Gresik, karena menurut paham mereka bahwa wakaf tanah hanya dimanfaatkan kepentingan
umum bukan keluarga. Pelaksanaan wakaf tanah hanya pada wakaf al- khayri> (wakaf
umum), wakaf macam kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat Gresik. Karena menurut
anggapan masyarakat wakaf itu hanya ada wakaf umum, bukan wakaf khusus. Paham
masyarakat seperti ini menurut penulis disebabkan mereka tidak berusaha belajar
memahami wakaf menurut empat madhhab, hanya mendengar dari guru-guru mereka tidak
berusaha mendalami kitab-kitab yang ada, dan berikabat pada pandangan mereka menjadi
sempit.
Wakaf umum banyak dimanfaatkan untuk kepentingan lembaga pendidikan, pondok
pesantren, masjid, musalla, panti sosial, sedikit sekali untuk kepentingan sosial. Misalnya,
untuk kepentingan pembangunan jalan, jembatan, membantu anak yatim, membantu fakir
miskin, membayar tenaga pendidik. Dan peringkat terbanyak wakaf tanah masyarakat
Gresik adalah untuk kepentingan masjid.
Wakaf keluarga sedikit sekali dijumpai pada masyarakat Gresik disebabkan kurang
adanya pemahaman bahwa wakaf keluarga dibolehkan dalam Islam, dan apabila dijumpai
ada wakaf keluarga di dalam kehidupan masyarakat, tidak akan dijamin perawatannya
sampai anak cucunya. Sebab wakaf semacam ini sampai pada keturunan anak cucu
perawatannya menjadi terbengkelai di kalangan keluarga, dan saling mengklaim siapa yang
berhak mengurus tanah wakaf tersebut.
Agar tidak terjadi sengketa dan saling mengklaim siapa yang berhak untuk mengurus
tanah wakaf, maka menurut penulis wakaf tanah itu diserahkan kepada pengelola wakaf
umum di daerah tempat wakaf tanah tersebut, artinya wakaf keluarga itu dialihfungsikan
menjadi wakaf umum.
Pemanfaatan wakaf tanah masyarakat Gresik lebih ditekankan pada tujuan wa>qif
(orang yang mewakafkan) ketika mewakafkan tanahnya, para na>z}ir (pengelola) tidak berani
mengalihkan pemanfaatan peruntukan benda wakaf. Misalnya, jika ada pembangunan
madrasah kekurangan dana, sementara masjid memiliki cadangan dana cukup banyak.
Panitia pembangunan madrasah tidak berani meminjam cadangan dana masjid yang ada,
demikian juga na>z}ir (pengelola) tidak berani mengalihkan atau memberikan dana masjid
untuk kepentingan pembangunan madrasah.
Paham masyarakat tidak berani mengalihkan pemanfaatan peruntukan hasil wakaf
disebabkan terhalang dengan sebagian syarat “Penyebutan penerima wakaf
(peruntukan/tujuan benda wakaf)”. Persyaratan tersebut apabila dilanggar berarti berdosa,
karena peruntukan hasil wakaf tidak sesuai dengan apa yang telah dikehendaki oleh orang
yang mewakafkan.
Menurut penulis orang yang akan mewakafkan bendanya tidak menyebut syarat
“Penyebutan peruntukan wakaf/tujuan benda wakaf” dan tidak membatasai pada objek
tertentu, bukan untuk kepentingan khusus tetapi untuk kepentingan umum. Dengan cara
seperti ini pengelola benda wakaf bisa mengalokasikan hasil wakaf sesuai dengan
kebutuhan agama, sosial, pendidikan dan tempat ibadah.
Penggantian wakaf tanah masyarakat Gresik pernah terjadi, khususnya wakaf tanah
milik masjid. Penggantian wakaf tanah masjid didasarkan pada kemaslahatan, dan
penggantinya lebih baik daripada tanah asal. Prinsipnya dalam kondisi tertentu, penggantian
harta wakaf dapat meningkatkan manfaat wakaf bagi orang-orang yang berhak, sekalipun
tidak menambah modal wakafnya atau hasilnya. Hal ini bisa jadi karena disebabkan oleh
faktor internal, yaitu munculnya bentuk penggunaan baru yang memungkinkan terhadap
harta wakaf dan sejenisnya.
Pemahaman di atas yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi> adalah
substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan harta wakaf, tetapi
yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan
kebaikan umum.
Pelaksanaan penggantian wakaf tanah masyarakat Gresik dalam perspektif madhhab
al-H}anafi>, penukaran (ibda>l) dan penggantian (istibda>l) itu boleh. Kebijakan ini berpijak dan
menitikberatkan pada mas}lah}ah, dan pembolehan ini berpijak dari sikap toleran dan
keleluasan yang sangat dijunjung tinggi oleh madhhab al-H}anafi. Menurut mereka
penukaran (ibda>l) boleh dilakukan oleh siapa saja, baik wa>qif (orang yang mewakafkan)
sendiri, orang lain, maupun hakim tanpa melihat jenis barang yang diwakafkan, baik berupa
tanah yang dihuni, maupun tidak dihuni, bergerak (manqu>l) maupun tidak bergerak (‘iqa>r).
Prinsipnya madhhab al-Ma>liki> melarang penggantian barang wakaf, namun mereka
tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf bergerak
dan yang tidak bergerak. Kebanyakan madhhab al-Ma>liki> memperbolehkan penggantian
barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Penggantian barang
bergerak boleh dilakukan dengan syarat telah rusak dan tidak lagi berfungsi sebagaimana
mestinya. Madhhab al-Ma>liki> memperbolehkan penggantian barang wakaf yang tidak
bergerak demi kepentingan umum.
Madhhab al-Sha>fi’i> beda pendapat tentang harta wakaf yang tidak bergerak, dan
tidak bermanfaat. Pertama, sebagian mereka berpendapat boleh mengganti, agar wakaf
tersebut menjadi manfaat. Kedua, sebagian mereka menolak. Madhhab al-H}anbali> tidak
membedakan penggantian barang wakaf bergerak dan tidak bergerak. Bahkan mereka
mengambil dalil hukum penggantian barang tak bergerak dari dalil yang mereka gunakan
untuk menentukan hukum penggantian benda bergerak.
Penukaran dan penggantian wakaf tanah masyarakat Gresik disebabkan adanya
unsur kepentingan utuk kemaslahatan wakaf tanah itu sendiri, dan tanah yang menjadi
pengganti wakaf masjid lebih baik dan lebih manfaat daripada tanah wakaf masjid.
Kesadaran tindakan di balik individu masyarakat seperti ini dilakukan karena panitia
pembangunan masjid akan melakukan renovasi, tetapi perluasan masjid terhalang dengan
tanah penduduk setempat (tanah masjid al-Ishlah desa Sukorejo kecamatan Bungah) . Di
samping itu pengganti tanah wakaf lebih luas dan penghasilannya lebih banyak daripada
tanah masjid yang djadikan sebagi penukar (tanah masjid Baitul Muttaqin Desa Ambeng-
Ambeng Watangrejo kecamatan Duduksampeyan dan tanah masjid al-Ikhlas desa Metatu
kecamatan Benjeng).
Pada prinsipnya penukaran dan penggantian tanah wakaf masjid tersebut boleh,
karena adanya unsur kemaslahatan bagi masjid itu sendiri, untuk pengembangan masjid, dan
memenuhi kebutuhan masjid.
4. Penarikan kembali dan penjualan wakaf tanah
Penyerahan wakaf tanah yang dilakukan oleh ibu Agem isteri bapak Abu atas wasiat
setelah kematian almarhum bapak Abu di desa Tirem kecamatan Duduksampeyan adalah
bagian dari wakaf wasiat yang harus dilaksanakan oleh ahli warisnya, dan wakafnya sah.
Penarikan kembali wakaf yang dilakukan sebagian ahli waris almarhum bapak Abu yang
bernama JP dan TH tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Menurut madhhab al-Ma>liki>,
wakaf boleh digantungkan atas syarat tertentu. Kalau pemilik suatu barang mengatakan
“apabila datang waktu, maka rumahku ini menjadi barang wakaf,” maka menjadi sah dan
terjadilah wakaf tersebut. Al- H}anafi> dan al-Sha>fi‘i> mengatakan: “Bahwa wakaf tidak boleh
digantungkan, wakaf harus mutlak. Kalau digantungkan seperti contoh di atas, rumah
tersebut tetap merupakan milik orang tersebut”.
Para fuqaha>’ memberikan pengecualian pada wakaf yang disyaratkan setelah
kematian. Mereka tidak menganggapnya sebagi mu’allaq (bergantung) yang tidak sah. Jika
wa>qif (orang yang mewakafkan) berkata: “Jika akan mati, maka tanah ini menjadi wakaf
bagi si fulan”. Statemen ini sah, karena tergolong wasiat wakaf. Ini tidak berarti ia
mewakafkannya pada saat itu, tetapi sejak saat itu berlakulah hukum wasiat dan segala
peraturannya. Ia sendiri masih berhak memanfaatkannya selama masih hidup, atau
menggadaikannya. Akan tetapi ia wajib mewakafkannya setelah meninggal tanpa ada hak
menarik kembali.
Meperhatikan beberapa pendapat di atas, bahwa menyamakan ta‘li>q
(menggantungkan) wakaf pada kematian dengan wakaf pada kematian dengan ta‘li>q
(menggantungkan) wakaf pada syarat di saat masih hidup merupakan penyamaan (analogi)
yang tidak sepadan. Ta‘li>q (menggantungkan) wakaf pada kematian merupakan wasiat,
wasiat itu sendiri mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengelolaan di masa hidup.
Alasannya bahwa wasiat itu dibolehkan pada hal-hal yang belum menentu. Oleh sebab itu,
ta‘li>q (menggantungkan) wakaf pada kematian merupakan pengecualian dari ketidakabsahan
ta‘li>q (menggantungkan) wakaf, karena status wakaf ini adalah wasiat, sehingga yang
berlaku adalah hukum-hukum wasiat.
Madhhab al-Ma>liki> tentang si>ghat (pernyataan) wakaf mu’allaq (menggantungkan)
bukanlah syarat sah wakaf. Menurut mereka, wakaf boleh dengan menyebut waktu tertentu,
sebagaimana dibolehkan dalam memerdekakn budak. Hal itu berlaku umum, baik ketika
syarat yang diucapkan tersebut benar-benar ada, Seperti “Jika si fulan datang pada hari,
bulan, atau tahun tertentu, maka rumahku menjadi wakaf untuknya”, atau ketika syarat yang
diucapkan belum terwujud”, seperti “Jika Zaid telah datang, maka rumahku ini menjadi
wakaf”. Maka wakaf ini wajib direalisasikan ketika telah terwujud syarat itu. Wakaf seperti
itu dapat disamakan dengan memerdekakan budak dengan syarat jika datang waktu tertentu.
Seperti ucapan: “Engkau bebas pada waktu sekian”, maka budak tersebut menjadi bebas
ketika waktunya sudah terpenuhi.
Oleh karena wakaf tergolong ke dalam kelompok s}adaqah ja>riyah (yang mengalir),
apakah barang yang telah diwakafkan bisa ditarik kembali atau tidak?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut perlu dikemukakan pendapat para ‘ulama>’, menurut al-Ha>dawi>yah dan
Abu> H}ani>fah: ”Menarik kembali hibah (pemberian) itu boleh sedang s}adaqah tidak boleh”,
demikian juga pendapat al-T}ah}a>wi>. Fuqaha>’ yang melarang secara mutlak penarikan kembali
s}adaqah beralasan dengan pengertian umum h}adi>th riwayat Muslim dari Ibn ’Abba>s:
���� ������ �������� :�������� �������� �������� ���� �������� ���� ������ ���������� ������ �������� ������ ��������
15 .���� ������ ������ �������� ������ �������� ������������ ���� �������� ���� ���������� ��������������
“Ibn ‘Abba>s berkata: Saya telah mendengar Rasu>l Alla>h SAW bersbada: Perumpamaan
orang yang bersedekah kemudian menarik kembali sedekahnya, maka samahalnya
dengan anjing muntah kemudian memakan kembali muntahnya”.
Larangan penarikan kembali juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari al-
H}umaydi> dan Sufya>n:
���� ������ ���������� ������ ������ �������� �������� ���������� ���������� ������ �������� ���������� ������������ ���������� ����������
�� ������ �������� �������� ���������� ������ �������� ������ �������� ������ ������ �������� ���� ������ ������ ��������
16.������ ���� �������� ���� ���������� ������ �������� �������� ���� ����������
“Al-H}umaydi> meriwayatkan, Sufya>n berkata: “Saya telah mendengar Zayd ibn Aslam
berkata: Ayahku berkata, ‘Umar r.a berkata: “Saya membawa kuda pada waktu berperang,
kemudian saya kira akan dijual, saya bertanya kepada Rasu>l Alla>h SAW kemudian beliau
bersabda kuda itu jangan di jual dan jangan kamu tarik kembali sedekahmu”.
H}adi>th di atas sebagai dasar diharamkannya menarik kembali s}adaqah menurut
jumhu>r ‘ulama>’. Imam Bukha>ri dalam S}ahi>h al-Bukha>ri>, dan Imam Muslim dalam S}ahi>h
Muslim, keduanya mengelompokkan h}adi>th tersebut pada bab: “Tidak halal seseorang
mencabut kembali hibah (pemberian) dan s}adaqah”. Ah}mad berpendapat bahwa: “Seseorang
tidak boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkannya”.
Penarikan kembali yang dilakukan oleh JP dan TH melalui pengacara RF terhadap
wakaf tanah bapak Abu yang sudah diserahkan oleh ibu Agem (isteri bapak Abu),
disebabkan JP dan TH adalah keponakan bapak Abu, dan perkawinan bapak Abu dan ibu
15al-Muslim,S}ah}i>h Muslim, vol. 2 (Bandung: Dah}lan, t.t), 6.
16al-Bukhari: Matn al-Bukha>ri>, vol.2 (Jeddah: Al-H}aramayn, t.tp), 98.
Agem tidak dikarunia anak. JP dan TH salahsatu ahli waris bapak Abu yang belum
menerima warisan, oleh sebab itu JP dan TH meminta bagian warisan dari bapak Abu.
Makna di balik gejala yang dilakukan oleh JP dan TH ini adalah adanya latar
belakang kehidupan ekonomi keduanya kurang memenuhi standar (kurang mampu), di
samping itu JP dan TH adalah ahli waris bapak Abu yang sebenarnya mendapat bagian
warisan dari bapak Abu.
Menurut penulis, untuk menyikapi agar penarikan kembali wakaf tanah wakaf bapak
Abu tidak terjadi, seharusnya bapak Abu sebelum meninggal dunia ia memanggil JP dan TH
untuk memberitahu bahwa dirinya akan mewakafkan tanah yang dimiliki dengan tempat dan
luas tanah yang diwakafkan, memberi bagian warisan JP dan TH, dan menyerahkan wakaf
tanahnya kepada pengelola wakaf (na>z}ir) desa setempat (Tirem kecamatan Duduksampeyan)
sebelum ia meninggal dunia.
Pelaksanaan penjualan wakaf tanah masyarakat Gresik tejadi pro dan kontra, baik
penjualan wakaf tanah milik masjid Ta’sisut Taqwa desa Setrohadi kecamatan
Duduksampeyan dan wakaf tanah milik madrasah al-Ikhwan desa Kemudi kecamatan
Duduksampeyan. Perbedaan pandangan mereka didasarkan pada perbedaan pendapat
madhhab yang membolehkan dan melarang menjualbelikan wakaf tanah.
Alasan penjualan wakaf tanah milik masjid Ta’sisut Taqwa untuk melanjutkan
pembangunan masjid, walaupun wakaf tanah sawah tersebut produktif dan bisa
dimanfaatkan selamanya. Sedangkan alasan yang mendasari penjualan wakaf tanah
pekarangan milik madrasah al-Ikhwan untuk melanjutkan pembangunan madrasah, dan
tanah wakaf pekarangan tersebut terjepit diperkampungan jauh dari lokasi madrasah al-
Ikhwan.
Untuk mejawab fenomena penjualan wakaf tanah milik masjid Ta’sisut Taqwa dan wakaf
tanah milik madrasah al-Ikhwan, telah terjadi perbedaan pendapat yang begitu tajam di
kalangan ‘ulama>’ madhhab tentang penjualan barang wakaf. Sebagian dari mereka ada yang
melarang menjual barang wakaf samasekali, ada pula yang membolehkan untuk kasus-kasus
tertentu.
Faktor penyebab penjualan wakaf tanah yang dilakukan oleh panitia pembangunan
masjid Ta’sisut Taqwa di desa Setrohadi dan panitia pembangunan madrasah al-Ikhwan desa
Kemudi disebabkan kekurangan dana dalam melanjutkan pembangunan masjid dan
madrasah, di samping itu panitia mengalami kesulitan dan enggan mencari dana tambahan
pembangunan kepada para dermawan masyarakat di sekitarnya, dan penjualan wakaf tanah
mendapat ijin dari tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Fenomena penjualan wakaf tanah semacam ini disebabkan panitia pembangunan
masjid dan madrasah tidak menemukan jalan lain mencari dana untuk melanjutkan
pembangunan kecuali menjual wakaf tanah, di samping itu panitia sudah enggan meminta
sumbangan kepada masyarakat, dan pembangunan harus segera diselesaikan.
Penjualan wakaf tanah seharusnya menurut penulis tidak dilakukan, karena wakaf
tanah sawah masjid Ta’sisut Taqwa adalah wakaf tanah produktif yang setiap tahunnya
menghasilkan manfaat dan bagian dari kekayaan masjid. Lebih baik wakaf tanah tersebut
bisa disewakan setiap tahunnya dan hasil dari sewa tersebut bisa dimanfaatkan untuk
kebutuhan masjid Ta’sisut Taqwa. Panitia pembangunan masjid terlalu bersemangat
menjual wakaf tanah sawah milik masjid, mereka tidak mempertimbangkan terlebih dahulu
mas}lah}ah dan mafsadat-nya. Wakaf tanah adalah bagian dari benda yang tidak bergerak, dan
wakaf milik masjid tersebut tidak akan mengalami kerusakan sepanjang masa. Oleh sebab
itu panitia pembangunan masjid sebagai orang yang dipercaya masyarakat desa Setrohadi
harus mencarikan pengganti wakaf tanah masjid yang telah dijual, atau membeli kembali
wakaf tanah sawah masjid yang sudah dijual dengan cara menghimpun dana dari
masyarakat.
Beda dengan wakaf tanah pekarangan milik madrasah al-Ikhwan yang terjepit di
perkampungan yang jauh dari lokasi madrasah dijual untuk melanjutkan pembangunan
madrasah. Dijualnya wakaf tanah milik madrasah itu disebabkan kurang manfaat bagi
madrasah itu sendiri, dan tidak mungkin akan dibangun madrasah pada tanah tersebut
karena tanahnya sempit. Namun menurut penulis seharusnya wakaf tanah milik madrasah al-
Ikhwan yang sempit tersebut bisa ditukar guling dengan tanah sebelah selatan madrasah
yang lebih luas, caranya na>z}ir (pengelola) madrasah mencarikan dana tambahan untuk
tukar guling tanah tersebut. Dengan cara seperti itu wakaf tanah madrasah tidak sampai
terjual, bahkan manfaatnya lebih besar untuk madrasah al-Ikhwan.
B. Pelaksanaan Wakaf Tanah menurut Hukum Positif
1. Pengertian wakaf
Pehaman wakaf masyarakat Gresik masih mengikuti pengertian menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal 1 ayat (1), wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah
milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Pengertian wakaf dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah
milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk
menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi
hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan di
kemudian hari.
Apabila dipahami rumusan pengertian wakaf di atas sejalan dengan pemahaman wakaf
dalam madhhab al-Sha>fi’i> dan al-H}anafi, yang pada umumnya dianut sebagian besar
masyarakat Gresik. Dan tidak mengherankan jika sebagian masyarakat menganggap bahwa
wakaf seolah-olah hanya tanah saja yang boleh diwakafkan. Wakaf yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 dan Kompilasi hukum Islam adalah jenis wakaf
khayri> atau wakaf untuk umum, bukan wakaf dhurri> (keluarga).
Tindakan di balik pemahaman pengertian wakaf yang hanya terbatas pada tanah milik
bagi masyarakat Gresik pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya,
disebabkan pemerintah waktu itu belum banyak melibatkan secara khusus cendikiawan
muslim dalam pembuatan draf Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang “Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria” dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
“Perwakafan Tanah Milik”. Atau pemikiran umat Islam waktu itu masih terpengaruh dengan
kebiasaan wakaf nenek-moyangnya yang berlaku saat dibuatnya peraturan perundangundangan.
Menurut penulis di samping kedua pengertian wakaf di atas yang dapat memberi
jawaban bagi masyarakat Gresik sesuai dengan perkembangan jaman adalah wakaf menurut
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang “Wakaf” dalam bab I pasal 1 ayat (1), wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 ini sejalan dengan pengertian wakaf menurut
empat madhhab. Rumusan ini juga mencakup pemahaman wakaf keluarga, wakaf umum,
dan wakaf bisa dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, di samping itu wakaf tidak hanya
terbatas pada hak milik yang tidak bergerak saja, hak milik yang bergerak bisa juga
diwakafkan (termasuk uang). Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004,
tentang “Wakaf” dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang “Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf” diharapkan bisa memberi jawaban
pada pelaksanaan perwakafan masyarakat Gresik yang selama ini mengalami kebekuan.
2. Fungsi, syarat dan unsur wakaf
Fungsi wakaf tanah masyarakat Gresik mayoritas untuk kepentingan sarana ibadah,
lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan sosial. Sedikit sekali fungsi digunakan untuk
memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi
harta benda wakaf.
Fungsi wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal 2 adalah
“Mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf”. Dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 216 “Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan
tujuan wakaf”. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 5 “Wakaf berfungsi
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum”.
Untuk menjawab mengapa fungsi wakaf tanah masyarakat Gresik mayoritas
digunakan kepentingan sarana ibadah, lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan sosial?.
Karena masyarakat mematuhi, dan tidak berani merubah “peruntukan wakaf/tujuan wakaf”
yang telah ditetentukan orang yang mewakafkan. Apabila masyarakat menyalahgunakan
atau membelokkan peruntukan wakaf tanah, resikonya mereka harus menanggung dosa.
Menurut penulis fungsi wakaf tanah yang sesuai dengan kondisi masyarakat Gresik
dan perkembangan jaman adalah rumusan fungsi wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41
tahun 2004 tentang “Wakaf”, pasal 5, “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum”. Agar wakaf tanah masyarakat Gresik dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka
peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan
sosial, juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta
benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang
pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.
Pelaksanaan wakaf tanah masyarakat Gresik telah memenuhi unsur-unsur dan syaratsyarat
wakaf sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal
3. Untuk terwujudnya wakaf diperlukan adanya empat unsur dengan syarat-syarat masingmasing
sebagai berikut:
a. Wakif
Wakif adalah orang atau oran-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya (pasal 1 ayat 2).
b. Benda yang diwakafkan
Benda yang diwakafkan dalam hal ini ialah tanah yang menjadi objek wakaf. Tanah
tersebut disyaratkan harus tanah milik yang bebas dari segala pembebanan ikatan, sitaan
dan perkara (pasal 4 PP No.28 tahun 1977 jo pasal 1 Permendagri No. 6 tahun 1977).
c. Ikrar wakaf
Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah
miliknya (pasal 1 ayat 3).
d. Nadzir
Nadzir atau pengurus wakaf adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi
tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf (pasal 1 ayat 4).
Keempat unsur dan syarat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik” semua telah dipenuhi oleh masyarakat Gresik
dalam melaksanakan wakaf tanah, menurut penulis disebabkan hukum Islam tentang wakaf
sudah berlaku dan membudaya di kalangan masyarakat sebelum berlakunya praturan
perundang-undangan di Indonesia. Utamanya setelah dikeluarkan Surat Edaran Bimas Islam
dan Urusan Haji Nomor D/ED/BA.03.2/1990 tanggal 4 Januari 1990 tentang “Pembuatan
Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf”. Tetapi sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik” dan berlakunya
pertauran perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pelaksanaan penyerahan wakaf
tanah dilakukan secara lisan, dengan memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat: wakif, benda
yang diwakafkan, dan Nadzir. Untuk ikrar wakaf mereka melaksanakan di depan tokoh
masyarakat dan tokoh agama (nadzir), bukan di hadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf).
Perilaku masyarakat terhadap pelaksanaan wakaf tanah dengan lisan menurut penulis
disebabkan pada tingginya kepercayaan yang sudah melekat pada keyakinan masing-masing
individu, sehingga sulit menghilangkan keyakinan seperti itu. Masyarakat Gresik setelah
mengetahui peraturan perundang-undangan berlaku di Indonesia tentang perwakafan, dan
dengan terjadinya banyak penyelewengan terhadap wakaf tanah, sekarang tidak lagi
melakukan perwakafan dengan lisan.
3. Perubahan dan penukaran wakaf
Pelaksanaan perubahan dan penukaran wakaf tanah masyarakat Gresik memenuhi
syarat yang ditentukan dalam pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, pasal 12 dan 13 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 tahun 1978
tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Surat Edaran
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor DII/5/HK.007/901/1989 tanggal 1 April 1989
tentang petunnjuk Perubahan Status/Tukar Menukar Tanah Wakaf.
Pengajuan perubahan dan penukaran wakaf tanah masyarakat Gresik yang telah
memenuhi peraturan perundang-undangan, menurut penulis disebabkan pengajuan
perubahan dan penukarannya atas petunjuk Kepala Kantor Urusan Agama setempat,
kesadaran para pengelola wakaf di desa masing-masing tentang kekuatan hukum perubahan
dan penukaran wakaf tanah, dan antisipasi terhadap masalah yang muncul dari masyarakat
atau keluarga orang yang mewakafkan.
Memahami fenomena seperti ini, menurut penulis disebabkan wakaf tanah tersebut
dikategorekan sebagai tanah yang kurang bermanfaat. Keadaan tanah-tanah itu tentu sangat
mengancam akan kelestarian dan keabadian pemanfaatan hasilnya. Justru pemanfaatannya
inilah yang merupakan s}adaqah ja>riyah yang senantiasa akan mengalirkan pahala secara
terus-menerus kepada pemberi wakaf itu sendiri. Akhirnya masyarakat dengan senang hati,
dan menerima dengan tulus perubahan dan penukaran yang dilakukan oleh pengelola wakaf.
4. Tata cara pendaftaran wakaf
Tata cara pendaftaran wakaf tanah masyarakat Gresik, setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pendaftaran wakaf tanah tetap mengikuti prosedur dan
aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan cara
pendaftaran tanah wakaf ke Badan Pertanahan Nasional kabupaten Gresik melalui PPAIW
(Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) kecamatan setempat. Tata cara pendaftaran mereka
berdasarkan pada:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pada bab III bagian pertama “Tatacara
perwakafan tanah milik” pasal 9.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang “Tata Pendaftaran Tanah
Mengenai Perwakafan Tanah Milik” pasal 1:
“Tanah yang diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang
baik seluruhnya maupun sebagian harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan dan
sengketa, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor
28 tahun 1977”.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menurut penulis adalah
bagian dari faktor penyebab tata cara pendaftaran wakaf tanah dilaksanakan masyarakat
kabupaten Gresik. Di samping dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun
1978 tentang “Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik”, jo Surat Edaran Menteri Agama Nomor D/ED/BA.03.2/1990
tentang “Petunjuk Teknis Instruksi Menteri Agama Nomor 15 tahun 1989 tentang
Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf”. Surat Badan Pertanahan
Nasional Nomor 630.1-2782 tanggal 27 Agustus 1991 perihal “Pelaksanaan Pensertifikatan
Tanah Wakaf”, jo Surat Badan Pertanahan Nasional nomor 630.1-2782 tanggal 27 Agustus
1991 perihal “Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Wakaf”, jo Surat Badan Pertanahan
Nasional Nomor 630.1-304 tanggal 30 Januri 1995, perihal “Persertifikatan Tanah Wakaf”.
Pengarahan Kepala Kantor Departemen Agama (Penyelenggara Zakat dan Wakaf)
Kabupaten Gresik, dan ditindaklanjuti oleh KUA (Kepala Urusan Agama) Kecamatan
kepada seluruh nadzir yang menjadi wilayahnya, yang mendorong masyarakat Gresik
mendaftarkan tanah wakaf mereka ke PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ), di
samping dengan pembiayayaan PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) masyarakat
tidak banyak mengeluarkan biaya untuk pendaftaran tanah wakaf. Juga yang paling penting
adalah kesadaran masyarakat Gresik tentang pentingnya status kepemilikan wakaf tanah
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
5. Penjualan dan penarikan kembali wakaf
Penjualan dan penarikan kembali wakaf tanah adalah perbuatan yang dilarang dan
bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.,
Larangan penjualan dan penarikan kembali wakaf tanah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 pasal 40:
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a). dijadikan jaminan;
b). disita;
c). dihibahkan;
d). diwariskan;
e). ditukar; atau
f). dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Larangan perubahan perwakan tanah milik juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 1977” pasal 11:
1). Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimksud dalam ikrar wakaf;
2). Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap
hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Agama, yakni:
a). karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b). karena kepentingan umum;
3). Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya
sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Penjualan wakaf tanah di desa Setrohadi menurut penulis disebabkan untuk
melanjutkan pembangunan masjid Ta’sisut Taqwa, karena panitia pembangunan masjid
tidak memiliki dana cukup, dan enggan mencari dana melalui para dermawan di sekitar
daerah tersebut. Penjualan tanah wakaf di desa Kemudi juga disebabkan untuk melanjutkan
pembangunan madrasah al-Ikhwan, dan kesulitan panitia mencari dana kepada masyarakat
setempat.
Perilaku panitia pembangunan masjid dan madrasah ini disebabkan keinginan mereka
membangun sangat tinggi, tetapi dana yang mereka siapkan untuk membangun masjid dan
madrasah tidak mencukupi. Pada akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menjual wakaf tanah
milik masjid dan madrasah
Menurut penulis, penjualan wakaf tanah yang dilakukan oleh panitia pembangunan
masjid Ta’sisut Taqwa desa Setrohadi dan madrasah al-Ikhwan desa Kemudi seharusnya
tidak terjadi. Untuk menyelesaikan pembangunan masjid dan madrasah tidak harus cepat
selesai, dan memiliki kesabaran. Mencari dana untuk pembangunan masjid dan madrasah
kepada para dermawan lebih mudah daripada menjual wakaf tanah masjid dan madrasah
yang resikonya lebih besar, karena berhadapan dengan pertauran perundang-undangan yang
berlaku.
Penarikan kembali wakaf tanah di desa Tirem oleh ahli waris almarhum bapak Abu
yang diserahkan isterinya ibu Agem dengan bukti kertas segel, dan penarikan kembali wakaf
tanah di desa Wadakkidul oleh ahli warisnya dengan cara lisan menurut penulis disebabkan
ketika orang yang mewakafkan tanah wakafnya kepada pengelola wakaf (nadzir) tidak
tercatat dan didaftarkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Perbuatan
orang yang mewakafkan dengan cara lisan belum memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat
wakaf tanah yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978, dan Undang-Undang Noor 42 tahun 2004.
Fenomena penarikan kembali yang belum didaftarkan atau memiliki Akta Pengganti
Akta Ikrar Wakaf (APAIW) atau Akta Ikrar Wakaf (AIW) menurut penulis merupakan
peluang bagi masyarakat yang memahami peraturan perundang-undangan, dan mudah
ditarik kembali oleh ahli waris karena status tanah yang diwakafkan secara lisan belum
memiliki kekuatan hukum sebagai tanah wakaf.
Menurut penulis penarikan kembali wakaf tanah oleh waris di desa Tirem dan
Wadakkidul tidak bisa dikenakan sanksi hukum sesuai dengan pasal 40 huruf (g) dan 67
ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang “Wakaf” dan pasal 11dan 14
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977tentang “Perwakafan Tanah Milik”, dan
peraturan perundang-undangan yang ada. Karena wakaf tanah yang ditarik kembali oleh ahli
waris belum didaftarkan dan tidak memiliki Akta Ikrar Wakaf dan Akta Pegganti Ikrar
Wakaf. Untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan dan terjadinya penyelewengan
terhadap wakaf tanah, bagi masyarakat Gresik yang akan mewakafkan barang yang tidak
bergerak dan bergerak, segera mendaftarkan barang yang akan diwakafkan kepada pihakpihak
yang menangani perwakafan yang telah diatur dalam peraturan perundang-udangan.
111. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan wakaf tanah menurut empat madhhab di kabupaten Gresik, baik sebelum dan
sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang”Perwakafan Tanah
Milik” dan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memenuhi syarat-syarat dan
rukun-rukun menurut Jumhu>r ‘Ulama>’ di kalangan madhhab al-H}anafi>, al-Sha>fi‘i>, Ma>liki>,
dan H}anbali>. Mereka sepakat bahwa orang yang akan mewakafkan hartanya harus memenuhi
4 (empat) rukun.
Pertama, wa>qif (orang yang mewakafkan). Kecakapan syarat bertindak bagi wa>qif
masyarakat Gresik dimaksud meliputi: (1) berakal sehat, tidak sah hukum wakaf yang
diberikan oleh wa>qif (orang yang mewakafkan) yang tidak sempurna akalnya (2) ba>ligh,
tidak sah wakaf dilakukan anak kecil, samahalnya anak mumayyiz (membedakan) (3)
Merdeka (4) waqif (orang yang mewakafkan) diharuskan orang yang cerdas, dalam arti
memiliki kecakapan dan kematangan untuk melakukan akad dan tindakan lainnya.
Kedua, al-mawqu>f (barang/harta benda yang diwakafkan). Agar mempunyai hukum
yang pasti sebagai benda wakaf, maka wakaf tanah bagi masyarakat Gresik telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: (1) benda yang diwakafkan harus memiliki nilai (manfaat), (2)
benda yang akan diwakafkan harus jelas wujud dan batasan-batasannya, (3) benda yang akan
diwakafkan harus menjadi milik tetap orang yang mewakafkan ketika pelaksanaan wakaf.
Ketiga, al-mawqu>f ‘alayh (peruntukan harta wakaf). Syarat peruntukan wakaf
(tujuan wakaf) adalah untuk menjaga kesinambungan pahala bagi pemberi wakaf. Wakaf
harus dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Islam, karena pada dasarnya wakaf
merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Alla>h. Karena itu al-mawqu>f ‘alayh
(tujuan wakaf/peruntukan harta wakaf) haruslah untuk kebajikan. Mawqu>f ‘alayh bagi
masyarakat Gresik mayoritas untuk kepentingan masjid, musalla, madrasah, pondok
pesantren, dan sedikit sekali untuk kebutuhan sosial.
Keempat al-si>ghat (pernyataan atau ikrar wa>qif untuk mewakafkan hartanya). (1)
para fuqaha>’ madhhab al-H}anafi> mensyaratkan bahwa pernyataan (si>ghat) wakaf – yang
termasuk salah satu rukun wakaf – harus disampaikan secara tegas dan jelas. (2) mayoritas
fuqaha>’ – selain Madhhab al-Ma>liki> – mensyaratkan pernyataan (si>ghat) wakaf harus
singkat. (3) menunjukkan makna selamanya (ta‘bi>d). Para Fuqaha>’ beda pendapat dalam
mencantumkan syarat selamanya pada wakaf. Di antara mereka ada yang mengunakan dan
ada yang tidak menggunakan syarat tersebut, ada diantara ulama yang yang membolehkan
wakaf muwaqqat (untuk jangka waktu tertentu), adalah madhhab al-H}anafi> dan madhhab al-
Ma>liki>, sedangkan yang mensayaratkan wakaf ta‘bi>d (selamanya), adalah madhhab al-
Sha>fi’i> dan madhhab al-H}anbali>. (4) Penyebutan pihak penerima wakaf (mawqu>f ‘alayh).
Fuqaha>’ beda pendapat tentang syarat penyebutan penerima wakaf dalam si>ghat yang
diucapkan, tujuannya agar sasaran pemanfaatan wakaf tersebut diketahui langsung.
Pendapat yang mengharuskan penyebutan penerima wakaf dalam si>ghat (pernyataan) wakaf
adalah menurut madhhab al-Sha>fi‘i>, madhhab al-H}anafi>, dan madhhab al-H}anbali>
mengharuskan penyebutan pihak penerima wakaf secara transparan dalam si>ghat
(pernyataan) wakaf. Sedangkan madhhab al-Ma>liki> tidak mensyaratkan penyebutan pihak
penerima wakaf dalam si>ghat (pernyataan) wakaf.
Pelaksanaan wakaf tanah bagi masyarakat Gresik tentang si>ghat (pernyataan atau
ikrar wa>qif untuk mewakafkan hartanya) samahalnya dengan syarat-syarat si>ghat
(pernyataan) yang dikemukakan empat madhhab, sedangkan yang belum banyak dikenal
adalah mewakafkan benda muwaqqat (untuk jangka waktu tertentu), seperti menurut
madhhab al-H}anafi> dan madhhab al-Ma>liki>. Masyarakat Gresik lebih mengenal wakaf tanah
ta‘bi>d (untuk selamanya), tidak dalam jangka waktu tertentu.
Walaupun syarat-syarat dan rukun-rukun wakaf sudah dipenuhi masyarakat Gresik
dalam melaksanakan wakaf, ada saja sebagian kecil ahli waris waqif (orang yang
mewakafkan) mencabut kembali wakaf tanah yang sudah diwakafkan oleh orang yang
mewakafkan, perbuatan semacam itu adalah bagian dari fenomena yang terjadi di kalangan
masyarakat Gresik. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan sekolompok orang semacam tidak
dibenarkan dalam Islam. Ada juga seagian kecil masyarakat menjual wakaf tanah milik
masjid dan madrasah dengan alasan untuk melanjutkan pembangunan, hal itu dilakukan
karena kekurangan dana pembangunan. Perbuatan sekelompok panitia pembangunan
semacam itu meskipun sebagian ulama’ madhhab membolehkan, sebaiknya wakaf tanah
yang produktif dan bermanfaat tidak dijual, akan tetapi bisa disewakan bagi wakaf tanah
masjid, dan ditukarkan dengan tanah yang lebih manfaat bagi wakaf tanah madrasah.
2. Pelaksanaan wakaf tanah di kabupaten Gresik menurut hukum positif terdapat 2 (dua)
macam, yaitu pelaksanaan wakaf tanah sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang ”Perwakafan Tanah Milik”.
Pertama, tradisi masyarakat kabupaten Gresik sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”, dan Peraturan Menteri
Agama No. 1 Tahun 1978 tentang “Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”. Tata cara pelaksanaan
wakaf tanah masyarakat menggunakan pernyataan lisan yang didasarkan pada adat
kebiasaan keberagaman yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas menurut paham
mereka sesuai dengan madhhab al-Sha>fi’i> dan termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang
sah. Pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti “Saya wakafkan
tanah ini” atau dengan kata-kata kiasan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dari
pengaruh pandangan madhhab al-Sha>fi’i> tersebut kemudian mereka memahami bahwa
pelaksanaan wakaf tanah cukup dengan lisan saja kepada tokoh masyarakat dan tokoh
agama setempat tanpa disertai bukti-bukti secara tertulis. Pelaksanaan wakaf tanah
masyarakat Gresik walaupun menggunakan pernyataan lisan, tetapi memenuhi syarat-syarat
dan rukun-rukun dalam Islam.
Di samping ada sebagian kecil masyarakat kabupaten Gresik yang mewakafkan
tanah mereka dengan cara tertulis untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkan, kemudian tokoh masyarakat atau tokoh agama mencatatnya sebagai tanah
wakaf orang yang mewakafkan. Pernyataan secara tertulis dan lisan seperti di atas bagi
masyarakat Gresik adalah bagian pelaksanaan wakaf yang sudah membudaya dan siapa saja
yang akan menggugat tanah wakaf tersebut akan mandapat laknat dari Alla>h.
Kedua, Pelaksanaan wakaf tanah masyarakat Gresik setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik” tetap mengikuti tata
cara dan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan cara pendaftaran tanah wakaf ke Badan Pertanahan Nasional kabupaten Gresik
melalui PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) kecamatan setempat. Di antara
pelaksanaan wakaf tanah masyarakat Gresik adalah berdasarkan pada pasal 9 dan 10
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah Milik” jo Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang “Tata Pendaftaran Tanah Mengenai
Perwakafan Tanah Milik” jo Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang
“Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang “Perwakafan Tanah
Milik”.
B. Rekomendasi
Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial
ekonomi, wakaf telah banyak membantu pembangunan secara menyeluruh di Gresik, baik
dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam dan
lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Namun jika
diperhatikan bahwa wakaf tanah yang ada dalam masyarakat Gresik sebagian besar
digunakan untuk masjid, musalla, lembaga pendidikan Islam, makam dan sosial, sedikit
sekali didayagunakan secara produktif.
Sebagai tindaklanjut dalam penelitian ini perlu disampaikan rekomendasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan:
Pertama, bagi penyelenggara zakat dan wakaf Departemen Agama kabupaten Gresik
selalu pro aktif dan berkerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional kabupaten Gresik
untuk mewujudkan pendaftaran wakaf tanah di kabupeten Gresik. Sebab sebelum penulis
melakukan penelitian ada sebagian kecil pengajuan pendaftaran wakaf tanah belum
diselesaikan dan berakibat pada sertifikat asli hilang belum ditemukan sampai sekarang.
Kedua, bagi kepala Kantor Urusan Agama kecamatan dan staf yang menangi wakaf
tanah di kabupaten Gresik. Supaya melakukan administrasi dengan baik sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku, sebab dengan menata administrasi wakaf
tanah dengan baik tidak akan mengalami kesulitan untuk melaporkan semua kegiatan yang
terkait pada perwakafan tanah, utamanya laporan setiap tahun ke penyelengara zakat dan
wakaf Departemen Agama kabupaten Gresik.
Ketiga, bagi wa>qif (orang yang mewakafkan). Apabila orang yang mewakafkan
tidak mempunyai anak atau keturunan, dan ia berwasiat kepada istrinya “kalau saya
meninggal dunia tanah itu diwakafkan untuk masjid” sebaiknya harta bendanya tidak
diwakafkan semua. Sebab dengan cara demikian ahli waris cenderung menarik kembali
benda wakaf dengan alasan mereka belum mendapat bagian dari wa>qif.
Keempat, bagi para na>z}ir (pengelola). Jika para pegelola wakaf berkeinginan renovasi
terhadap tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial lainnya diharap
menyediakan dana secukupnya untuk merenovasi bangunan yang ada, tidak harus menjual
wakaf tanah untuk melanjutkan pembanguna.
Kelima, Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang “Wakaf” dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004”, belum diatur tentang “Batasan minimal dan maksimal wakaf”. Mohon dengan
hormat kepada yang berwenang untuk meninjau kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Abu> Zahrah, Muh}ammad. Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqfi. Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1971.
Abdullah, T.Karim, MR (ed), Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
al-Alu>si>. Ru>h} al-Ma’a>ni>, vol 7. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1994.
Ali, Muhammad Daud. Perwakafan Tanah di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1990.
al-Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Irsha>d al-Sari>, vol. 5. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H}alabi>. t.t.
Ans}a>ri>, Zakariyah Ibn Muh}ammad. Al-Ghurar al- Bahiyah, vol. 6. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1998.
Abdurrahman. Masalah Perwakafan Tanah Milik . Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1988.
al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Rajawali Press, 1989.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Reneka Cipta,
2006.
A. Maxwell, Joseph. Qualitative Design and Interactive Approach. London: Sage
Publication, 1996.
Ary, Donalt (et all), Pengantar Penelitian dalam Pendidikan.Terj.Arif Furchan. Surabaya:
Usaha Nasional, 1983.
Ahmadi, Rulam. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Malang : UM Press, 2005.
al-Bahu>ti>, Mans}u>r ibn Yu>nu>s ibn Idri>s. Al-Kashsha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’,vol. 4.
Beirut: Da>r al-Fikr, 1982.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: Al- Ma’arif,
1987.
Basrowi, Muhammad dan Soenyono. Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Surabya: Yayasan
Kampusina, 2004.
Bisri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004.
_________. Model Penelitian Fiqh Jilid 1. Jakarta : Kencana, 2004.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Terj. Arif
Furchan. Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
B. Miles, Meththaw dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep
Rabendirakidi. Jakarta: UI Press, 1992.
al-Bukha>ri>. S}ahi>h al-Bukha>ri>, vol.3. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.
Collin, Finn. Social Reality. London and New York: Routledge, 1997.
Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosisal: Sketsa, Penelitian, Perbandingan. Terj. Budi
Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Djatnika, Rachmat. Wakaf Tanah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Departemen Agama RI. Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf,
2003.
Departemen Agama RI. Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005.
Departemen Agama RI. Bunga Rampai Perwakafan. Jakarta: Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2006.
Departemen Agama RI. Pola Pembinaan Lemabaga Pengelola Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Departemen Agama RI. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Departemen Agama RI. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Depertemen Agama RI. Nazir Profesional dan Amanah. Jakarta: Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2005.
Departemen Agama RI. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2003.
Departemen Agama RI. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2003.
Departemen Agama RI. Strategi Pengamanan Tanah Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Depertemen Agama RI. Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Departemen Agama RI. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Departemen Agama RI. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Departemen Agama RI, Profil Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2003.
Dey, Ian. Qualitative Data Analisis, A. User Friendly Guide For Social Scientises. London:
and New York: Roudedge, 1993.
Dimyati, Mochammad. Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode
dan Terapan. Malang: PPS UM, 2000.
al-Di>n, Burha>n. Al-Is’a>f fi> Ah}ka>m al-Awqa>f. Mesir: Al-Kubra>, t.tp.
al-Dimya>t}i>, Muhmmad Shat}a>. I‘a>nat al-T}a>libi>n, vol.3. Jeddah: Lit}t}iba>’ah wa al-Nashr wa al-
Tawzi>’, t.tp.
Da>wud, Abu>, Sunan Abi> Da>wud, vol.2. Beirut: Da>r al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1996.
Faishal Haq dan Saiful Anam. Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia. Pasuruan:
Garoeda Buana Indah, 2004.
Fikri, Sayyid ‘Ali>. Al-Mu’a>mala>t al-Ma>diyah wa al-Ada>biyah, vol. 2. Mesir: Mus}t}afa> al-
Ba>bi> al-Halabi>, 1938.
Faisal, Sanapiah. Dasar dan Teknik Penelitian Keilmuan Sosial. Surabaya: Usaha Nasional,
1981.
Hadiwijaya, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat, vol.2. Yogyakarta: Kanisius, 1985
Hermit, Herman. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf. Bandung: Mandar Maju, 2007.
Hamami, Taufiq. Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria. Jakarta: Tatanusa, 2003.
Hasan, Sofyan. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, jilid 2 . Yogtakarta: YPFP UGM, 1978.
Hadiwijaya, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat, vol.2. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Ibn Quda>mah. Al-Mughni>, vol. 8. Kairo: Hajar li al-T}iba>ah wa al- Nas}r wa al Tawzi>’, 1989.
Ibn ‘A<bidi>n, Muh}ammad A<mi>n. Ra>d al-Muh}ta>r, vol. 6. Beirut: Da>r al Kutub al-‘Ilmiyyah,
1994.
Ibn Hazm, Al-Andalu>si>. Al-Muh>alla> bi al-A>tha>r, vol. 8. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.tp.
Ibn H}amma>m, Fath} al-Qadi>r, vol.5. Mesir: Must}afa> Muh}ammad, t.tp.
Junaidi, Ahmad dan Thobib al-Asyhar. Menuju Wakaf Produktif. Jakarta: Mitra Abadi
Press. 2006.
al-Khalla>f, Abd. Wahhab. Ahka>m al-Waqf. Mesir: Matba’ah, 1951.
al-Kasna>wi>, Abu> Bakar ibn H}asan. As-hal al-Mada>rik sharh Irsha>d al-Sa>lik fi> al-Fiqh li
Ima>m al-Aimmah Ma>lik. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.
al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf. Jakarta: Dhu’afa, 2004.
al-Khurashi>, Abd.Alla>h Muh}ammad. Sharh al-Khurashi> ‘ala> Mukhtas}ar Khali>l. vol.7. Mesir:
Al-Khairi>yah, t.tp.
al-Khasha>f, Abu> Bakar Ah}mad ibn ‘Umar al-Shayba>ni>. Ahka>m al-Awqa>f. Mesir: Diwa>n al-
‘A>m al-Awqa>f, t.tp.
al-Khusaini>, Ima>m Taqiyu al-Di>n Abi> Bakar ibn Muh}ammad. Kifa>yat al-Akhya>r. vol. 1.
Beirut: Da>r al-Fikr, t.tp.
al-Kha>zin. Tasi>r Al-Kha>zi>n, vol. 3. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia,
1993.
Kuntjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1994.
Lincoln, Yvinna & Egon G. Guba. Naturalistic Incuiry. New Delhi: Sage Publication, 1985.
al-Mars}afi>, Muh}ammad. H}>asiyah al-Bujairimi>, vol. 3. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
al-Malibari, Zayn al-Di>n. I’a>nah al-T}a>libi}>n, vol. 3. Jeddah: Littiba>’ati wal al-Nashr wa al-
Tawzi>’, t.tp.
al- Ma>wardi>. Al-Nukat wa al-‘Uyu>n Tafsi>r al-Ma>wardi>, vol.1. Beirut: Da>r Al-‘Arabi> al-
‘Ilmiyyah, t.tp.
al-Maqdisi>, Baha>’ Al-Di>n Abd. Al-Rah}ma>n ibn Ibra>hi>m. Al’Uddah Sharh al-‘Umdah. Beirut:
Da>r al-Fikr, 1988.
al-Mara>ghi>, Muh{ammad Mus}t}afa>.Tafsi>r Al-Mara>ghi>, vol. 3. Beirut: Da>r al Fikr, t.tp.
Mannan, M.A. Sertifikat Wakaf Tunai Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam. Jakarta:
CIBER – PKTTI-UI, 2001.
Maykut, Pamela & Richard Morehouse. Beginning Qualitative Research. A Philosophic and
Practical Guide. Washington D.C.: The Falmer Press, 1994.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin, 1996.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.
Mesiach, Henry and Virginia, Sextion. Psichologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanitik
Suatu survai Historis. Bandung : Eresco, 1988.
Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Reneka Cipta, 2003.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madhdhab. Jakarta: Lentera, 1999.
Muslim. S}ah}i>h Muslim, vol. 2. Bandung: Dah}lan, t.tp.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.
Muljono, Slamet. Perundang-Undangan Majapahit. Jakarta: Bharata, 1967.
Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
al-Nawa>wi>. Rawd}at al-T}a>libi>n, vol. 4. Beirut: al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
al-Naysa>bu>ri>, Muslim. S}ah}i>h Muslim, vol. 2. Beirut: Da>r al-Fikr. 1993.
al-Nawa>wi>, Abi> Zakariyah Yah}ya> ibn Sharaf. Minha>j al-T}alibi>n wa ‘Umdah al-Mufti>n fi> al-
Fiqh. Tkp: Maktabah al-Thaqafah, ttp.
al-Nasa>’i>. Sunan al-Nasa>’i>, vol. 6. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
al-Naysa>bu>ri>. Tafsi>r Ghara> ‘ib al-Qur’a>n wa Ragha>’i al-Furqan>, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1996.
Nasution, Mustafa Edwin dan Uswatun Hasanah (ed). Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam
Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat. Jakarta: CIBERPSTTI-
UI, 2006.
Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito, 1996.
Orleans, Myron. “Phenemenology Sociology”, dalam Henry Erzkowitz & Ronald M
Glassman. The Renascenece of Sociological Theory. Itasca, Illinois: FE Peacock
Publishers, Inc, 1991.
Patton, Michael Quinn. Qualitative Evaluation Methods. Baverly Hills-London: Sage
Publications, t.tp.
Praja, Juhaya. S. Perwakafan di Indonesia. Bandung: Yayasan PIARA, 1995.
al-Qurt|}ubi>. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, vol. 4. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
al-Qa>simi>. Mah}a>sin al-Ta’wi>l, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
al-Qazwi>ni>. Sunan Ibn Ma>jah, vol. 2. Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1998.
Qohaf, Mundzir. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifah, 2005.
al-Ra’i>ni>, Abi> Abd. Allah Abd. Al-Rahman al-Maghribi>. Mawa>hib al-Jali>l li Sharh Muh}tas}ar
Khali>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, vol 3. Mesir: Da>r al-Fath li-I’la>m al-‘Arabi>, 2000.
al-S}an’a>ni>. Subul al-Sala>m, vol.3. Bandung : Dahlan, ttp.
al-Sharbi>ni>, Muh}ammad al-Kha>t}i>b. Mughni al-Mukhta>j, vol. 3. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1994.
al-Sha>fi’i>. al-Um, vol. 8. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
al-Shayrazi. al-Muhadhdhab, vol.1. Mesir : ‘Isa> al-Ba>bi> al-Halabi>, t.tp.
al-Sha’rani, Abdul Wahab. Kashf al-Ghummah ‘An Ja>mi’ al-Ummah, vol. 2. Beirut; Da>r al-
Fikr, 1988.
al-Sijista>ni>. Sunan Abi Da>wud, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996.
al-Sa’di,> Abd. Al-Rah}ma>n Na>sir. Tafsi>r al-Kari>m al-Rah}ma>n fi> Kala>m al-Manna>, vol. 3.
Beirut: ‘A<lim al-Kutub, 1993.
Sari, Elsi Kartika. Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta: Grasindo, 2006.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2003.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001.
Straws, Anselan and Juliet Carbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pusaka
Pelajar, 2003.
Surachmad, Winarno. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung:
Tarsito, 1972.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Press, 1994.
_________, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
_________, dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1981.
Sunarto. Dasar dan Konsep Penelitian. Surabaya: PPS IKIP, 1997.
Silverman, David. Qualitave Research Theory, Methode and Practic. London: Sage
Publication, 1997.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES,
1995.
Sumaryono. Hermenetik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
Suharto, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.
Suhadi, Imam. Wakaf untuk Kesejahteraan Umat. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2002.
Thalib, Suyuti. Lima Serangkai Hukum dalam Wakaf sebagai Sarana Pengembangan
Amalan Umat Islam dan Hubungan dengan Hukum Agraria. Jakarta: Bina Aksara,
1983.
al-Tarki., Abdullah ibn Abd al-Muh}si>n. al-Awqa>f al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’u>diyah.
Riya>d: Abdali> Kartun al-Dawliyah, t.tp.
al-Tirmidhi>. Sunan al-Tirmidhi>, vol. 5. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.
Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum, 1994.
Usman, Husaini. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Waters, Malcolm. Modern Sosiological Theory. London: Sage Publications, 1994.
al-Zuh}ayli>, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, vol.10. Beirut: Da>r al-Fikr, 2002.
al-Zamah{s}ari>. al-Kashsha>f, vol. 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1995
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2006.
PERUNDANG-UNDANGAN, PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN
MENTERI
Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960, tentang “Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria”.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, tentang “Wakaf”.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tentang “Pendaftaran Tanah”.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, tentang “Penunjukan Badan Hukum Yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah”
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, tentang “Perwakafan Tanah Milik”
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, tentang “Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf”.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang “Kompilasi Hukum Islam”>
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1997, tentang “Tata Pendaftaran Tanah
Mengenai Perwakafan Tanah Milik”.
Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, tentang ”Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pelaksana Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”
Peraturan Menteri Agama Nomor 12 tahun 1978, tentang “Ketentuan Penambahan Biaya
Pendaftaran Tanah Untuk Badan-Badan Hukum Tertentu pada Peraturan Menteri
Agama No. 2 tahun 1978”.
Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978, tentang Penyelenggaraan Wewenang
Kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/Setingkat di Seluruh Indonesia
untuk Mengangkat/ Memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW).
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 tahun 1982, tentang “Pensertifikatan Tanah bagi
Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan lembaga Pendidikan yang
Menjadi Objek Operasional Nasional Agraria”.
Instruksi Menteri Agama RI Nomor 15 tahun 1989, tentang “Pembuatan Ikrar Tanah
Wakaf”.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978, tentang
“Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik”.
Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1978 Instruksi Menteri Agama RI Nomor 15
tahun 1989, tentang “Pembuatan Ikrar Tanah Wakaf”.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nomor 4 Tahun 1990 dan
Nomor 24 Tahun 1990, tentang “ Pensertifikatan Tanah Wakaf”.
Instruksi Menteri Agama Nomor 15 tahun 1989, tentang “Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan
Pensertifikatan Tanah Wakaf”.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun
1990 dan No. 24 tahun 1990, tentang “Sertifikasi Tanah Wakaf”.
Surat Kepala Badan Pertanahan Nomor 630.I-2782, tentang “Pelaksanaan Persertifikatan
Tanah Wakaf tanggal 27 agustus 1991”.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1992, tentang “Biaya
Pendaftaran Tanah”.
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 5 tahun
1990, tentang “Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-
Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik”.
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/75/78, tentang
“Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik”.
ARTIKEL DARI INTERNET
Ali Muhyiddin Daghy, Persyaratan Wakaf”, dalam
http://www.siwakh.net/mode.php?mod=newslater&PHPSESSID=b62a866e234b25041
9e574f824e992b2 (30 Januari 2008)
Ali Muhyiddin Daghy, “Bolehkah Menggabungkan Berbagai Harta Wakaf yang Berbeda
dalam Satu Peruntukan?” dalam
http://www.siwakz.net/mode.php?modpublisher&op=viewct&c=1 (30Januari 2008)
Ali Muhyiddin Daghy, “Pengantar Pendayagunaan Harta Wakaf”, dalam
http://www.siwakh.net/mode.php?mod=newslater&PHPSESSID=b62a866e234b250
419e574f824e992b2 (21 Januari 2008)
Asrori S. Karni, “Harta Karun di Balik Wakaf” dalam
http://www.philanthrophyforjustic.org/editorial ( 7 Januari 2008).
Badan Wakaf Indonesia (BWI), “Pengertian Wakaf” dalam
http://bw.indonesia.net/indek.php?optiontask=view=58&itemid=54. (12 Juni 2008)
Badan Wakaf Indonesia (BWI), “Dasar Hukum Wakaf” dalam
http//bw.indonesia.net/indek.php?option=com_content&task=section&id=88
Itemit=113 (12 Juni 2008)
Badan Wakaf Indonesia (BWI), “Potensi Wakaf” dalam
http://bw.indonesia.net/indek.php?optiontask=view=58&itemid=109 (12 Juni 2008)
Badan Wakaf Indonesia (BWI), “Pengertian Wakaf” dalam
http://bw.indonesia.net/indek.php?optiontask=view=58&itemid=54. (12 Juni 2008)
Eri Sudewo, “Pengelolaan ZIS dan Wakaf di Singapora” dalam
http://www/philanthrophyforjustice.org/editorial (5 Desember 2007)
Irfan Abubakar, “Dinamisasi Wakaf” dalam http://www.philanthrophyforjustic.org/editorial
(24 Juli 2004)
Irfan Abubakar, “Wakaf Alternatif di Indonesia:Why Not?” dalam
http://www.philanthrophyforjustic.org/editorial/?Kategore=9 (11 Nopember 2006)
Marhadi Muhayar, “Menggali Sumber Dana Umat melalui Wakaf Uang” dalam
http:/makalah-artikel.blogspot.com12007/11/wakaf-uang-05 htm/ (05 November
2007)
Suhrawardi K Lubis, “Era Baru Pengelolaan Wakaf di Sumatera Utara” dalam
http://suhrawardilubis.mutiply.com/journal/item/20/ERA_BARU_PENGELOLAAN
WAKAF DI SUMATERA UTARA (29 Pebruari 2008)
Sutomo Dedi, “Pemberdayaan Wakaf” dalam http://www.mail-machive.com/ekonomisyariah
@ yahogroups.com/indek,htm/-#02499 (26 Mei 2008)
Sutomo Dedi, “Wakaf Tunai” dalam http://www.mail-machive.com/ekonomi-syariah @
yahogroups.com/indek,htm/-#02499 (26 Mei 2008)
Suhrawardi K Lubis, “Wacana Wakaf produktif dan Wakaf Uang” dalam
http://suhrawardilubis.mutiply.com/journal/item/19/ WACANA WAKAFPRODUKTIF-
DAN-PEMBANGUNAN (12 Pebruari 2008)
Suhrawardi K Lubis, “Wakaf Produktif dan Pembangunan” dalam
http://suhrawardilubis.mutiply.com/journal/item/21/WAKAF-PRODUKTIF-DANPEMBANGUNAN
(29 Pebruari 2008)
Tim Dakwatuna Com, “Hukum Wakaf dengan Uang Tunai” dalam
http://www.dakwatuna.com/author/admin (1 Juni 2008)
Tim Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Studi Wakaf di Malaysia”
http://www.philanthrophyforjustice.org/research (27 Oktober 2005)
Tim Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Studi Wakaf di Turki”
http://www.philanthrophyforjustice.org/research (24 September 2005)
Tim Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Studi Wakaf di Mesir”
http://www.philanthrophyforjustice.org/research (26 Agustus 2005)
Yuyun Wahyu, “Sejarah Perkembangan Wakaf di Dunia Islam” dalam
http:muslimmuslimah.blogspot.com/2007/11/Sejarah-Perkembangan-Wakaf-didunia.
htm (12 November 2007)
HASIL WAWANCARA
Wawancara dengan Syueb Zunaidi, Kepala KUA kecamatan Benjeng Gresik, pada tanggal, 2
Maret 2009.
Wawancara dengan Nasihun Amin, Staf KUA kecamatan Gresik pada tanggal 4 Maret
2009.
Wawancara dengan Kamaly Manan, Kepala KUA kecamatan Duduksampeyan Gresik, pada
tanggal 5 Maret 2009.
Wawancara dengan Topo, Kepala desa Tirem kecamatan Duduksampeyan Gresik, pada
tanggal 12 Maret 2009.
Wawancara dengan Mitro, Tokoh masyarakat desa Tirem kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 12 Maret 2009.
Wawancara dengan Abd. Azis, Tokoh masyarakat kecamatan Bungah Gresik, pada tanggal
26 Maret 2009.
Wawancara dengan Moh. Zaini, Kepala KUA kecamatan Gresik, pada tanggal 3 April 2009.
Wawancara dengan Nur Rochim, Kepala KUA kecamatan Dukun Gresik, pada tanggal 8
April 2009.
Wawancara dengan Khairuddin Usman, Kasi Penyelenggara Zakat dan Wakaf Depag Gresik,
pada tanggal 14 Mei 2009.
Wawancara dengan Abdul Mujib, Tokoh masyarakat desa Kemudi kecamatan
Duduksampeyan Gresik, pada tanggal 16 Juli 2009.
Wawancara dengan Abd. Choliq, Tokoh masyarakat Wadaklor kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 20 Juli 2009.
Wawancara dengan Bachruddin, Tokoh masyarakat kecamatan Benjeng Gresik, pada
tanggal 26 Juli 2009.
Wawancara dengan Tohir, Tokoh masyarakat kecamatan Sidayu Gresik, pada tanggal 29
Juli 2009.
Wawancara dengan Afif, Tokoh masyarakat kecamatan Sidayu Gresik, pada tanggal 29 Juli
2009.
Wawancara dengan Sobir, Toko Masyarakat kecamatan Sidayu Gresik, pada tanggal 29 Juli
2009.
Wawancra dengan Misbach, Tokoh masyarakat kecamatan Benjeng Gresik, pada tanggal 30
Juli 2009.
Wawancara dengan Muchsin Nur, Tokoh masyarakat desa Kemudi kecamatan
Duduksampeyan Gresik, pada tanggal 16 September 2009.
Wawancara dengan Midhar, Tokoh masyarakat kecamatan Bungah Gresik, pada tanggal 29
September 2009.
Wawancara dengan Syaiful, Kepala KUA kecamatan Bungah Gresik, pada tanggal 19
Oktober 2009.
Wawancara dengan Syuhail, Tokoh masyarakat kecamatan Manyar Gresik, pada tanggal 22
Oktober 2009.
Wawancara dengan Kholif, Staf KUA kecamatan Bungah Gresik, pada tanggal 22 Oktober
2009.
Wawancara dengan Suwanto, Kepala KUA kecamatan Sidayu Gresik, pada tanggal 22
Oktober 2009.
Wawancara dengan Muhammad Basyir, Tokoh masyarakat kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 2 November 2009.
Wawancara dengan Nur Ali, Tokoh masarakat desa Setrohadi kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 4 November 2009.
Wawancara dengan Hasan Bisri, Tokoh masyarakat desa Wadaklor kecamatan
Duduksampeyan 4 November 2009.
Wawancara dengan Nur Said Miskan, Tokoh masyarakat desa Setrohadi kecamatan
Duduksampeyan Gresik, pada tanggal 4 November 2009.
Wawancara dengan Baderi, Tokoh masyarakat desa Kemudi kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 5 November 2009.
Wawancara dengan Yahya, Tokoh masyarakat desa Setrohadi kecamatan Duduksampeyan
Gresik, pada tanggal 6 November 2009.
Wawancara dengan Abu Aman, Tokoh masyarakat desa Wadaklor kecamatan
Duduksampeyan Gresik, pada tanggal 13 November 2009
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Diri dan Keluarga
1. Nama : ABU AZAM AL HADI
2. Tempat/tanggal lahir : Gresik/12 Agustus 1958
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Pekerjaan : Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya
5. Jabatan (Golongan) : Lektor Kepala (IV/b)
6. Agama : Islam
7. Status Perkawinan : Kawin
8. Nama Istrei : Hj. Siti Romlah
9. Nama Anak : a. Maya Fanny Furoidah (lahir 1988)
b. Hayyan Ahmad Ulul Albab (lahir 1992)
c. Agus Muhammad Al Mahami MH (lahir 2003)
10. Nama Orang tua : a. H. Kasban (wafat 1961)
b. Hj. Siti Maimunah (wafat 2004)
11. Nama Mertua : a. H. Affandi (wafat (2009)
b. Hj. Khoiriyah (wafat 1967)
12. Alamat : Samirplapan – Duduksampeyan – Gresik
Telepon: 031-3903064, HP: 08123059022
B. Riwayat Pendidikan
Pendidikan formal
1. Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kemudi Duduksampeyan Gresik, lulus 1972
2. Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun, Gresik, lulus 19776
3. Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 tahun, Mojokerto, lulus 1979
4. Sarjana Muda pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, lulus 1983
5. Sarjana Lengkap pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Surabaya lulus 1986
6. Magister Agama pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya lulus 2000
Pendidikan non formal
1. Pondok Pesantren ”Raudlatul Qur’an” Kemudi Duduksampeyan Gresik
2. Pondok Pesantren ”Sabilul Muttaqin” Mojokerto
C. Riwayat Kepangkatan/Jabatan Fungsional
1. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), 1 Maret 1991
2. Pengatur Muda (II/b), 1 Maret 1993
3. Penata Muda (III/a, 10 Oktober 1993
4. Penata Muda/Tenaga Pengajar (III/a) 1 Agustus 1996
5. Penata Muda/Asisten Ahli Madya (III/a), 1 Agustus 1997
6. Penata Muda Tingkat I/Asisten Ahli (III/b), 1 Oktober 1998
7. Penata/Lektor Muda (III/c), 1 Oktober 2000
8. Penata Tingkat I/Lektor (III/d), 1 Oktober 2002
9. Pembina/Lektor Kepala (IV/a), 1 Maret 2005
10.Pembina Tk.I/Lektor Kepala Madya (IV/b), 1 April 2008
D. Riwayat Tugas Tambahan
1. Pembantu Dekan Bidang Akademis pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam
Lamongan (UNISLA), 2004 – 2009
2. Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan (UNISLA), 2009-sampai
sekarang
3. Anggota Senat Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006-2009
E. Riwayat Pengabdian
1. Di Lembaga Perguruan Tinggi dan SLTP/SLTA
a. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam
Lamongan (UNISLA), 1991-Sekarang
b. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syari’ah INKAFA Suci Manyar Gresik,
2003-sekarang
c. Guru pada MTs Al-Mubarok Samirplapan Duduksampeyan Gresik, 1983-1991
d. Guru pada MTs Al-Ikhwan Kemudi Duduksampeyan Gresik, 1983-1994
e. Guru pada SMA Islam Duduksampeyan Gresik, 19986-1991
f. Guru pada Madrasah Aliyah ”Asy-Syafi’iyah” Duduksampeyan Gresik, 1988-2004
g. Kepala Madrasah Aliyah ”Asy-Syafi’iyah Samirplapan Duduksampeyan Gresik,
1988-2004
2. Di Lembaga Kemasyarakatan
a. Ketua Tanfidziyah MWC NU kecamatan Duduksampeyan Gresik, 1995-2000
b. Katib Suriyah MWC NU kecamatan Duduksampeyan Gresik, 2000-2005
c. A’wan Suriyah NU Cabang Gresik, 2000-2005
d. Anggota Komisi Fatwa MUI kabupaten Gresik, 2004-2009
e. Pengurus Suriyah MWC NU kecamatan Duduksampeyan Gresik, 2006-sekarang
f. Anggota Komisi Fatwa NUI kabupaten Gresik, 2009-sekarang
g. Ketua BPD Samirplapan Duduksampeyan Gresik, 2000-2005
h. Sekretaris Yayasan ”Al-Hafdiyah” Samirplapan Duduksampeyan Gresik, 1990-
2004
i. Ketua Pengurus MI ”Nurul Huda” Samirplapan Duduksampeyan Gresik, 2002-
sekarang
F. Karya Ilmiyah
1. Jurnal
a. Fiqh sebagai Etika Sosial (Artikel dalam Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan
Pembaharuan Hukum Islam, volume 6, Nomor 2, Desember 2003)
b. Dhimmi dalam Perspektif Hukum Islam (Artikel dalam Paramedia: Jurnal
Komunikasi dan Informasi Keagamaan, volume 4, Nomor 3, Juli 2003)
c. Reformulasi Hukum Islam di Indonesia (Artikel dalam Al-Qanun: Jurnal
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 9, Nomor 1, Juni 2005)
d. Formulasi dan Metodologi Pemikiran Hukum Islam al-Bukhari (Artikel dalam
Paramedia: Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, volume 7, Nomor 4,
Oktober 2006)
e. Islam Vis a Vis Demokrasi (Artikel dalam Aspirasi: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, volume XVIII Nomor (khusus), Mei 2008)
f. Upaya Pemberdayaan Tanah wakaf Produktif bagi Kesejahteraan Ummat (Artikel
dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman, volume 4, Nomor 1, September 2009)
2. Penelitian
a. Tuntutan Ganti Rugi Nafkah Bathin dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif
b. Status Hukum Waris Islam dalam Perspektif Segi Pelaksanaannya pada masyarakat
Duduksampeyan Gresik
c. Penjualan Tanah wakaf dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 1977 di Duduksampeyan Gresik
d. Sighat Ikrar Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam di Duduksampeyan Gresik
e. Kedudukan Al-Hadith sebagai Sumber Hukum Islam menurut ahl al-Usul dan al-
Hadith
f. Perkawinan Mindo-Misan Masyarakat Kecamatan Duduksampeyan kabupaten
Gresik menurut Hukum Islam
g. Adat Waris Masyarakat Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik menurut
Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar